Selama beberapa tahun terakhir China telah terus meningkat ketegasan di Laut Cina Selatan. Klaim terbaru atas hak mengelola hasil perikanan atas sebagian besar wilayah ini membuat negara-negara lain di kawasan alasan khawatir bahwa China akan segera mencoba menerapkan Identifikasi Zona Pertahanan Udara ( ADIZ ) di Laut China Selatan sambil mencoba untuk menegaskan klaim nine-dash line yang kontroversial. Hal ini akan menempatkan yurisdiksi Cina berada tepat di lepas pantai sebagian besar negara Asia Tenggara.
Armada perang USN (photo: Jayme Pastoric) |
Sementara ketika negara-negara yang terancam dengan klaim China khawatir terhadap ancaman terhadap kedaulatan mereka, beberapa memiliki sarana untuk menantang itu, terutama pada ancaman kedaulatan mereka sendiri. Indonesia mungkin adalah negara yang bisa melakukannya dengan bantuan sekutu yang substansial. Indonesia juga memiliki sumber daya untuk mendanai angkatan lautnya untuk mempertahankan teritorial perairannya. Meskipun demikian , masih harus dilihat apakah Indonesia bisa memanfaatkan potensi ekonomi dan mengubah dirinya menjadi kekuatan regional yang berpengaruh.
Sudah muncul indikasi serius bahwa China mungkin mencoba untuk menerapkan ADIZ atas Laut Cina Selatan dalam waktu dekat. Seorang perwira senior dari Akademi Militer Rakyat China Tentara Pembebasan Angkatan Laut, Li Jie, telah menggulirkan isu pada tanggal 21 Februari, dalam menanggapi pernyataan militer Amerika yang mengatakan bahwa China berencana untuk menerapkan ADIZ atas Laut Cina Selatan pada tahun 2015. Li menjawab bahwa penerapan ADIZ di LCS diperlukan untuk kepentingan jangka panjang China.
Potensi Indonesia
Baik PDB maupunn PDB per kapita Indonesia tumbuh kuat selama 10 tahun terakhir, dengan PDB meningkat lebih dari 400 persen menjadi $878.000.000.000 pada tahun 2012 dan PDB per kapita melonjak menjadi $3.557 pada tahun 2013. Kenaikan per kapita tetap terjadi meskipun pertumbuhan populasi hampir 40 juta orang. Ini akan berarti bahwa pemerintah memiliki populasi dan pendapatan dasar yang sehat dan menghasilkan potensi pendanaan militer.
Minyak, gas , dan industri pertambangan telah menjadi pendorong utama keberhasilan ekonomi Indonesia. Namun, industri ini tidak bebas masalah, dan beberapa dari masalah tersebut diakibatkan oleh kebijaksanaan pemerintah Indonesia sendiri. Ladang minyak negara itu akan jatuh tempo dan mungkin sudah melewati masa puncak produksi. Namun, cadangan gas Indonesia masih besar, dan kebangkitan industri Coalbed Methane ( CBM ) berpotensi sangat menguntungkan.
Masalah yang dihadapi industri primer di Indonesia sudah pasti membatasi pilihan pemerintah untuk menangani masalah-masalah keamanan regional. Sektor minyak dan gas memiliki kerangka peraturan stabil yang menarik investasi, tapi ladang migas yang sudah setengah menuju habis dan peningkatan konsumsi domestik berarti keuntungan menurun. Minyak dan gas menyumbang 22 persen dari pendapatan pemerintah pada tahun 2011. Jika angka itu terus turun maka sumber baru harus ditemukan, atau dana bagi pendanaan militer akan juga menurun. Indonesia sudah memeras pendapatan pemerintah sebanyak dari sumber pendapatan ini dengan cukup bijaksana, dengan penerapan tarif pajak efektif sebesar 44 persen pada 2013. Dengan menurunnya produksi minyak, gas alam yang akan diandalkan hingga sumber energi yang signifikan berikutnya dapat dikembangkan.
Dengan diperkirakan menguasai 6 persen dari cadangan global, CBM bisa menjadi penggerak berikutnya bagi Indonesia dalam investasi energi. Cadangan CBM Indonesia diperkirakan dua kali lebih besar dari cadangan gas alamnya. Tapi industri ini, bagaimanapun masih baru. BUMN Bukit Asam mengklaim Tanjung Enim dapat menghasilkan cukup CBM setiap hari untuk memasok pembangkit listrik 200MW pada tahun ini. Namun, kesepakatan dengan perusahaan utilitas masih merupakan perkiraan. Bahkan dengan regulasi pasar yang menguntungkan dan formasi geologi, industri ini tidak akan segera menjadi bagian penting dari perekonomian Indonesia dalam waktu dekat.
Iklim regulasi seputar industri pertambangan di Indonesia menimbulkan masalah besar lain. undang-undang pertambangan yang kontroversial tahun 2009 mulai diberlakukan sedikit demi sedikit pada tanggal 12 Januari 2014, mengharuskan perusahaan tambang untuk memperkaya mineral di Indonesia dan tidak mengirim bahan mentah segera setelah dikeruk. Tujuannya adalah untuk menjaga keuntungan pertambangan di dalam negeri bukan mengekspor kekayaan negara. Namun, sebagian besar perusahaan asing utama sangat khawatir tentang aplikasi peraturan yang tidak merata di seluruh komoditas, serta ambiguitas apakah kontrak sebelumnya akan juga ikut terpengaruh.
Dua perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia, Freeport dan Newmont, mengklaim peraturan batu itu akan membuat mereka terpaksa memberhentikan ribuan pekerja dan hilangnya miliaran pendapatan ekspor. Mereka mengancam untuk mengajukan tuntuan hak kontrak-kontrak sebelumnya sebelum pemberlakuan undang-undang baru pada arbitrase internasional. Manambah masalah yang ditimbulkan oleh undang-undang baru adalah melemahnya harga komoditas dan kurangnya infrastruktur untuk memperkaya dan mengangkut mineral ke pasar. Target penerimaan pajak sektor pertambangan adalah $90.5 miliar pada tahun 2013, namun per September baru $56 miliar yang tercapai. Sektor pertambangan negara mendapat $ 3.37 miliar untuk periode waktu yang sama, 25,7 persen penurunan YoY.
Kelas konsumen yang terus tumbuh adalah potensi penggerak lain untuk perekonomian Indonesia. Populasi ini diperkirakan akan tumbuh menjadi 150 juta orang selama 10 tahun ke depan. Tidak saja merangsang perekonomian Indonesia, juga diharapkan menjadi faktor stabilisasi agar tidak tergantung pada harga komoditas. Salah satu alasan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap tapering yang dilakukan Federal Reserve AS, dikaitkan dengan semakin berkembangnya kelompok konsumen ini.
Jika bisa terus tumbuh, kelas konsumen akan menjadi bagian penting dari perekonomian Indonesia. Namun, hal tersebut tidak secara langsung jadi keuntungan bagi pertambahan anggaran pemerintah sampai setidaknya akhir dekade ini (2020). Memperoleh keuntungan dari pertumbuhan kelas konsumen dalam bentuk nyata ketersediaan dana untuk upgrade besar-besaran angkatan laut akan membutuhkan antara lima sampai sepuluh tahun. Artinya, pemerintah tidak dapat bergantung pada sumber pendapatan ini untuk membiayai kebutuhan militer secara langsung saat ini.
Opsi Aliansi
Tanpa adanya kebebasan anggaran untuk membangun angkatan laut yang akan mampu mempertahankan perairan teritorialnya, Indonesia hanya mempunyai beberapa pilihan tersisa untuk pertahanan. ASEAN telah jelas terlihat tidak membantu dalam hal ini, karena bahkan setelah China menerapkan hukum baru pelarangan mencari ikan di LCS, ASEAN tidak mampu berbuat sesuatu kecuali mengeluarkan merekomendasikan solusi diplomatik untuk masalah tersebut.
Beberapa negara-negara di wilayah ini mempunyai kapasitas angkatan laut yang cukup signifikan untuk bekerja dengan Indonesia menyediakan alat pencegah yang efektif bagi agresi, dengan dua pengecualian : Australia dan Jepang.
Meskipun ada masalah dalam hubungan Indonesia – Australia, muncul dari isu pencari suaka dan akibat bocornya kejadian Australia memata-matai musyawarah perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat, namun tidak merupakan ancaman strategis untuk hubungan kedua negara. Namun, isu-isu seperti ini menghambat kerjasama selama postur China tidak terang-terangan militeristik. Jika China memutuskan untuk menerapkan ADIZ di Laut Cina Selatan, hubungan saja bisa berubah. Australia tidak memiliki klaim teritorial di Laut Cina Selatan, namun China dengan dukungan militer mengklaim hak atas jalur laut paling berharga di dunia, tercatat 50 persen dari pengiran kapal tanker minyak dunia merupakan ancaman bagi Australia, terutama karena Australia mengirimkan cadangan gas alam dan ekspor yang meningkat lewat jalur laut tersebut.
Sayangnya untuk Indonesia, ketegangan dalam hubungan ini berarti bahwa aliansi dengan Australia hanya mungkin terjadi jika dipicu oleh sebuah insiden cukup besar yang akan memaksa menyelaraskan kepentingan mereka. Kondisi semacam itu berarti bahwa aliansi apapun anatar Indonesia-Australia akan terlambat, dan China mungkin sudah mendiktekan arah peristiwa dan mengambil keuntungan strategis.
Jepang memiliki kebutuhan dan alasan strategis mendesak untuk membantu setiap negara Asia Tenggara untuk ikut menjadi counterbalance bagi China. ADIZ Cina di Laut Cina Timur dan sengketa pulau-pulau Diaoyu/Senkaku telah membuat Jepang sangat sensitif terhadap sikap keras Cina. Jepang juga punya kekhawatiran terhadap keamanan jalur perdagangan energi mereka yang dikirim melalui Laut Cina Selatan.
Namun, konstitusi Jepang tidak memungkinkan Pasukan Bela Diri Jepang untuk melakukan sesuatu kecuali melindungi wilayahnya sendiri. Perdana Menteri Shinzo Abe dan partai LDP yang berkuasa ingin mengubah konstitusi untuk memungkinkan militer Jepang untuk membantu melindungi sekutunya Perubahan Pasal Jepang 9 akan membuat aliansi militer formal dengan bangsa Asia Tenggara akan sangat menarik. Namun potensi kemungkinan pemerintah Jepang mampu mengubah konstitusi bukanlah sesuatu yang strategi militer yang Indonesia bisa andalkan, terutama mengingat betapa kontroversialnya perubahan postur militer Jepang baik di dalam negeri Jepang sendiri maupun di kawasan.
Hal ini membuat AS jadi satu-satunya negara lain yang bisa menjadi sekutu Indonesia dalam waktu dekat dan secara substansial dapat mempengaruhi perilaku Cina di Laut Cina Selatan. AS telah mengatakan kepada Filipina bahwa mereka akan menempatkan lebih banyak kapal di teater LCS. Namun, AS mempunyai banyak kepentingan di seluruh dunia. Dorongan dan tindakan nyata militer AS ke Laut Cina Selatan hanya akan terjadi jika Cina lebih agresif daripada tindakan mereka saat ini. Bahkan ADIZ baru akan tidak akan signifikan mengubah postur AS tanpa “insiden” yang signifikan dalam teater untuk memaksa AS bertindak terhadap China.
Penekanan pentingnya “Poros Asia” oleh AS tidak berarti berupa tindakan langsung. Dalam jangka pendek AS akan membiarkan peristiwa-peristiwa terjadi, dan kemudian baru bereaksi sesuai dengan hal tersebut untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di wilayah.
Ini berarti Indonesia tidak dapat sepenuhnya bergantung pada AS untuk membangun kehadiran nyata, atau bahkan kemitraan dengan kawasan, sebelum kedaulatan wilayah Indonesia dilanggar secara signifikan. Diperlukan aktor regional lain dengan motivasi yang sama dan juga punya potensi kerugian dari agresivitas Cina. Kemungkinan Indonesia akan sulit untuk bisa meyakinkan negara lain di kawasan untuk melakukan aksi segera terhadap agresi Cina, tapi itu adalah satu-satunya pilihan dalam jangka pendek dan menengah. (Clint Richards - The Diplomat | JKGR )
0 komentar:
Posting Komentar