05 April, 2014

TNI Terima 18 Unit Meriam Asal Korea Selatan

Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Budiman menyatakan 18 unit atau satu batalyon meriam kaliber 155 mm asal Korea Selatan sudah tiba di Indonesia.

TNI Terima 18 Unit Meriam Asal Korea Selatan

“Ke-18 unit atau satu batalyon meriam 155 mm asal Korea Selatan itu sudah datang. Rencananya, alutsista akan datang secara berangsur-angsur hingga September 2014,” katanya setelah membuka Kejurnas Karate Piala Kasad di Gedung Celebes Convention Centre (CCC) Makassar, Jumat (4/4/2014).

Lulusan terbaik AKABRI Darat 1978 itu menjelaskan TNI juga menjadwalkan untuk mengambil hasil riset terkait alutsista yang merupakan kerja sama TNI dan perguruan tinggi di Indonesia.


“Melalui kerja sama ini membuat Indonesia tidak lagi tergantung dengan negara lain dalam hal persenjataan,” katanya.

Terkait hasil riset yang dilakukan tersebut, kata dia, akan diumumkan ke masyarakat luas. Hal itu diharapkan memberikan kesadaran bahwa Indonesia juga memiliki kemampuan untuk memproduksi peralatan sendiri.

“Senin nanti kita berencana mengambil hasil riset yang dilakukan tim kami bersama pihak perguruan tinggi, kemudian kami mengumumkan hasilnya,” jelasnya.

Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI, Moeldoko menyatakan pihaknya sedang menjajaki kemungkikan penambahan armada kapal selam jenis Kilo Class asal Rusia demi memperkuat pertahanan perairan Indonesia.

“Saat ini, kami masih dalam penjajakan dan sedang dikalkulasi. Jika kapal selam kilo class ini bisa kita datangkan maka tentu luar biasa. Kapal selam ini memiliki kemampuan dalam menembakkan rudal yang sangat jauh,” ujarnya.

Kapal selam buatan Rusia ini kabarnya memiliki keunggulan pada teknologi peluru kendalinya. Kapal selam dengan nama Kiloklav ini mampu menembak hingga 300-400 km dari subsurface hingga surface.

Selain kapal selam dari Rusia, TNI juga akan mendatangkan tiga kapal selam dari Korea Selatan. Kehadiran tiga kapal selam itu akan melengkapi kapal selam yang ada sebelumnya.

Bukan itu saja, TNI juga masih menunggu kedatangan heli Apache dari Amerika. Heli jenis ini dikatakan hanya dimiliki beberapa negara, termasuk Amerika dan Singapura. Selain itu adapula tank Leopard yang dinilai masih salah satu yang terbaik.

Indonesia juga berencana mendatangkan peralatan penangkal serangan udara yang berasal dari Prancis dan Inggris.

Jenderal TNI Moeldoko juga memiliki keinginan tidak hanya mempunyai pesawat tempur Sukhoi SU-30, namun jenis terbaru Sukhoi SU-35. (Solopos)


Satelit Buatan Asing Ancam Data Indonesia

Keamanan data yang dihasilkan oleh satelit merupakan salah satu pertimbangan pemerintah untuk lepas dari ketergantungan asing. Hal ini untuk mencegah kebocoran data-data sensitif ke pihak tak berwenang.

Satelit Buatan Asing Ancam Data Indonesia

"Satelit Indonesia atau satelit nasional, harus kita yang kuasai sendiri dan kita yang memiliki. Karena ini menyangkut berbagai isu sensitif, termasuk pertahanan negara," tutur Deputi TPSA - BPPT, Ridwan Jamaluddin di gedung BPPT, Jakarta, Rabu (2/4/2014).

Diungkapkan Ridwan, Indonesia harus menguasai teknologi satelit, kalau tidak ingin suatu saat merasakan kerugian yang fatal.  Saat ini, sejumlah satelit Indonesia masih disuplai dari pihak luar. Sehingga muncul kekhawatiran dari segi keamanan komunikasi jika satelit dibuat oleh negara lain.


Untuk itu, Indonesia dirasa harus memiliki pijakan yang kuat di industri satelit. "Secara spesifik, BPPT sudah siap dengan SDM (Sumber Daya Manusia)n infrastruktur, dan prohram-program pembangunan satelit," sambungnya.

Di sisi lain, Indonesia sebagai negara yang luas juga membutuhkan satelit sendiri, salah satunya satelit penginderaan jauh (inderaja). Untuk pembangunan satelit ini, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) mendukung konsorsium nasional, yang melibatkan komponen pengguna dan penyedia teknologi sistem satelit inderaja.

Teknologi inderaja (remote sensing technology) merupakan teknologi yang bisa mendeteksi suatu obyek di permukaan bumi tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek tersebut. Melainkan melalui sensor yang dipasang di wahana pesawat (airborne) atau satelit (spaceborne).

Tiga dari Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) Kemenristek sendiri yaitu Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Badan Informasi Geospasial (BIG) menjadi penyedia dan pengguna teknologi inderaja. (OkeZone)


03 April, 2014

Dua Satelit 100% Made in Indonesia Diluncurkan Tahun 2015

Indonesia selama ini belum mampu membuat dan meluncurkan satelit sendiri. Satelit di Indonesia masih dibuat negara lain. Tahun depan, Indonesia berambisi meluncurkan 2 satelit buatan anak bangsa sendiri.

Satelit Lapan A2 yang akan diluncurkan | Foto: Lapan

“Kita harus membangun satelit kita sendiri dan tidak tergantung dengan teknologi luar, ini yang harus kita lalui lewat percepatan teknologi satelit, agar kita bisa mengoperasikan satelit yang kita bangun sendiri,” kata Sekretaris Kemenristek Hari Purwanto, di Gedung BPPT, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (2/4/2014).

Menanggapi permasalahan tersebut, Kementrian Riset dan Teknologi (Kemenristek) berusaha mandiri, dengan berupaya membangun sinergi antara seluruh komponen pengguna dan penyedia teknologi sistem satelit penginderaan jarak jauh (inderaja) melalui konsorsium nasional melalui tiga Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK). 3 LPNK itu yakni Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Informasi Geospasial (BIG).


Sementara Kepala Lapan Thomas Djamaluddin menjelaskan dalam UU no 21 tahun 2013 diamanatkan untuk membuat rencana induk keantariksaan selama 25 tahun dan hal itu tengah disusun. Salah satu impiannya yaitu, memiliki satelit komunikasi dan penginderaan jauh sendiri di luar satelit yang ada saat ini.

“Dengan memiliki satelit sendiri, kita bisa menjadi negara yang mandiri dan punya daya saing, banyak aspek kalau tetap bergantung dengan bangsa luar, seolah-olah kita ditelanjangi.” jelas Thomas.

Thomas menekankan, pada dasarnya Indonesia sudah bisa membuat satelit sendiri yaitu satelit mikro, contohnya satelit Lapan A1 yang telah beroperasi selama 7 tahun. Satelit itu dibuat oleh tangan-tangan putra Indonesia namun dirakit dan di bawah pengawasan ahli di Jerman.

“Satelit Lapan A1 itu buatan Indonesia, termasuk semua alat-alatnya tapi dirakit di Jerman. Orang-orang kita diarahkan membuat satelit, dilatih dan diarahkan membuat satelit dengan buaya Indonesia, pelatihnya juga dibayar,” tutur Thomas
Satelit Lapan A1 itu diluncurkan dari Pusat Stasiun Luar Angkasa Sriharikota, India tahun 2007 dan kini telah mengorbit di ketinggian 630 km dari permukaan Bumi. Posisi orbitnya di dekat kutub selatan.

“Lapan A1 merupakan satelit eksperimen pemantauan Bumi dengan keistimewaan menggunakan video yang bisa dikendalikan. Bila kita mengarahkan satu obyek di Bumi, bisa mengendalikan satelit itu,” papar Thomas.

Karena masa ekonomis satelit Lapan A1 sudah habis, Lapan didukung Kemenristek akan meluncurkan dua satelit lagi tahun 2015. Tak seperti Lapan A1 yang dirakit putra bangsa di Jerman di bawah pengawasan ahli dari negeri yang dipimpin kanselir Angela Merkel itu, dua satelit ini murni dibuat tangan putra bangsa plus dirakit di Indonesia sendiri.

Satelit itu dinamakan Lapan A2 dan Lapan A3. Lapan A2, diberi muatan transmitter radio amatir, kerjasama Lapan dengan Organisasi Radio Amatir Indonesia (Orari) dan dimaksudkan untuk membantu penanganan daerah bencana. Sedangkan Lapan A3 adalah kerjasama Lapan dengan IPB, dimaksudkan untuk memantau potensi-potensi pertanian.

“Lapan A2 sekarang sedang disimpan di Ranca Bungur Bogor, Pusat Teknologi Satelit, yang kita targetkan meluncur pertengahan tahun depan. Kita juga membuat Lapan A3, sekarang dalam tahap pengujian dan pengintegrasian. Lapan A3 diharapkan juga tahun depan diluncurkan,” kata dia.

Kedua satelit itu, Lapan A2 dan Lapan A3, seperti ‘saudara tua’nya diluncurkan dari Pusat Stasiun Luar Angkasa Sriharikota, India. Kali ini, kedua satelit akan diorbitkan mendekati garis ekuator. Kedua satelit itu beratnya 54 kg.

“Lapan A2, sama buatan Indonesia dengan Lapan A1 tapi beda orbit. Kalau Lapan A2 orbitnya mendekati ekuator, kalau Lapan A1 orbitnya mendekati orbit polar (kutub). Satelit Lapan A2 sudah siap, tinggal menunggu diluncurkan,” jelas Thomas. (Taufan Noor Ismailian – detikNew | JKGR )


TNI Akan Bantu KPU Kirim Logistik Pemilu

Panglima TNI Jenderal TNI, Moeldoko menyatakan bahwa pihaknya tak akan membiarkan KPU kedodoran dalam pengiriman logistik pemilu. Menurutnya, TNI punya fungsi tugas perbantuan yang diatur dalam undang-undang.

TNI Akan Bantu KPU Kirim Logistik Pemilu
Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Ketua KPU Husni Kamil Manik usai penandatanganan nota kesepahaman antara TNI dan KPU di Jakarta, Kamis (3/4) |  Foto: Puspen TNI

Hal itu disampaikan Moeldoko usai penandatangan nota kesepahaman (MoU) antara KPU dengan TNI di Kantor Pusat KPU Jakarta Pusat, Kamis (3/4)."Dalam kerangka tugas perbantuan tersebut, kecermatan dalam inventarisasi distribusi logistik pemilu merupakan faktor kunci demi menjaga kredibilitas institusi TNI dan KPU," kata Jenderal Moeldoko,

Oleh karena itu, lanjut Moeldoko, TNI dan KPU harus memperhatikan faktor keamanan, waktu, jumlah dan lokasi tujuan.


Sedangkan Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan, penandatanganan MoU itu agar lembaga penyelenggara pemilu itu mendapat dukungan dari TNI baik dalam bentuk personel, sarana maupun prasarana untuk mengirimkan logistik Pileg 2014 ke daerah-daerah yang secara geografis sulit. Selain itu, keterlibatan TNI itu juga agar logistik pemilu bisa sampai ke kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di daerah-daerah yang rawan dari sisi keamanan.

"Selain itu, TNI juga akan membantu mengirimkan barang logistik Pemilihan Umum Tahun 2014 ke daerah penerimaan barang sesuai waktu, daerah asal tempat pengiriman, rute, alamat tujuan, tempat penerimaan, jumlah tonase, serta volume logistik Pemilihan Umum Tahun 2014," ujar Husni. (JPNN)


Presiden Terpilih 2014 Prioritaskan Diplomasi Kelautan

Strategi diplomasi kelautan Indonesia belum berjalan optimal. Hal ini berdampak pada kian buruknya kinerja kerjasama ekonomi Indonesia pada level regional dan internasional.
 
Presiden Terpilih 2014 Prioritaskan Diplomasi Kelautan

Lalu, belum tuntasnya pembahasan perbatasan laut Indonesia dengan 10 negara tetangga. Bahkan masih ditemukannya tindak kekerasan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri.

“Faktanya, melalui media daratan, Indonesia hanya berbatasan dengan 3 negara. Sedang melalui lautan, Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara,” kata Iman Sunario, Ketua Yayasan Suluh Nusantara Bakti mengkritik pemerintah.
 


Dewan Kelautan Indonesia (2012) mengatakan, jika membandingkan antara luas wilayah perairan RI dengan jumlah kapal yang menangani penegakkan hukum dan keamanan di laut, yaitu,  Luas Wilayah (5.800.000 km2) dibagi Jumlah kapal (870 unit), sama dengan 6.666 km2/kapal.

Artinya, rata-rata setiap 1 kapal patroli harus mengawasi luas wilayah perairan laut seluas 6.666 km2. Tantangan lainnya, aksesibilitas dari dan ke pulau-pulau kecil Indonesia sangatlah terbatas. Target membuka 90 trayek laut perintis hingga 2014, belum juga tercapai berdasarkan data Kementerian Perhubungan pada 2013.

Menurut Iman, upaya mengungkap kekuatan diplomasi negeri maritim Nusantara di masa lalu dan mempersiapkan strategi diplomasi kelautan Indonesia ke depan, menjawab tantangan dari dalam maupun luar negeri, Yayasan Suluh Nuswantara Bakti akan menggelar diskusi publik, pada Sabtu 5 April 2014, tema “Hubungan Mancanegara dan Strategi Diplomasi Kelautan Indonesia.”

Acara di Hotel Sultan Jakarta akan menghadirkan para pembicara, Irawan Djoko Nugroho, Dr.Ivan Yulivan, dan diplomat senior Prof.Dr.Hasjim Djalal.

Iman mengatakan, pemilu 2014 harus menghasilkan presiden yang memiliki pengetahuan dan perhatian besar untuk mengutamakan aspek kelautan dalam tiap-tiap diplomasi luar negeri Indonesia.

Hal ini dapat dimulai dengan memperkuat armada laut nasional, baik untuk kepentingan pertahanan dan kemanan, memfasilitasi perdagangan antar pulau, maupun memperkuat transportasi yang menghubungkan pulau-pulau kecil di Indonesia. "Dengan kekuatan domestik seperti itu, Indonesia akan kembali disegani oleh bangsa-bangsa lain,” kata Iman.



Sumber : Tempo


PT PAL Tunggu Pencairan Anggaran Alih Teknologi Kapal Korea

Pemerintah Indonesia telah menandatangani kontrak pembelian tiga kapal selam dari Daewoo Shipbuilding Marine Enginerering (DSME) Korea Selatan. Dua di antaranya diproduksi di Korsel dan satu kapal akan dibuat tanah air. Oleh karena itu, PT PAL Indonesia mengirim tim teknisi belajar ke negeri ginseng tersebut untuk Transfer of Technology (ToT).

PT PAL Tunggu Pencairan Anggaran Alih Teknologi Kapal Korea

Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Sumarjono, menampik tudingan sejumlah kalangan bahwa mereka tak siap untuk transfer teknologi itu.

"Sekarang dalam proses menyiapkan infrastruktur untuk transfer teknologi. Kami juga masih menginventarisasi keperluan-keperluan itu," ujarnya usai Lokakarya Tentang Penyusunan Rencana Induk Pemenuhan Alpalhankam (Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan) di Kementerian Pertahanan, Jakarta.


Sumarjono menegaskan, PT PAL menunggu kucuran dana dari APBN guna menyiapkan inrastruktur untuk transfer teknologi pembuatan kapal selam tersebut.

"Anggarannya sudah ada keputusan dari Pemerintah dan DPR. Sekarang kami menunggu kepastiaan turunnya dana tersebut," katanya.

Menurut Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan Rachmad Lubis, tidak banyak negara-negara di dunia yang memiliki teknologi kapal selam. Sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut terluas, Indonesia harus memperkuat pertahanan laut dengan kapal selam.

"Selama ini kita belum pernah memproduksi kapal selam, bahkan untuk merawatnya juga belum ahli, maka kita harus menguasaai teknologi kapal selam tersebut," jelasnya.

Rachmad menambahkan, untuk memiliki tiga unit kapal selam dari Korsel tersebut, negara membayar sebesar US$ 1,08 miliar atau sekitar Rp 10,8 Triliun. Kedepan Indonesia menargetkan memiliki 12 kapal selam pada 2024-2009.

"Pembuatan tiga kapal selam itu memakan waktu semuanya tujuh tahun; jadi diharapkan pada 2019 nanti sudah kelar," pungkasnya. (VivaNews)


Program IFX Tetap Berjalan Meski Ada Pergantian Presiden dan Pemerintahan RI

Industri strategis nasional bersama Kementerian Pertahanan sedang mengembangkan pesawat tempur tipe KFX/IFX. Dalam pengembangan dan produksi pesawat tempur ini Indonesia menggandeng Kementerian Pertahanan Korea Selatan.

Program IFX Tetap Berjalan Meski Ada Pergantian Presiden dan Pemerintahan RI

KFX/IFX sendiri merupakan varian jet tempur generasi 4,5. Pesaing pesawat ini adalah F18 buatan Amerika Serikat dan Dessault Rafale buatan Prancis. Produksi tipe IFX di dalam negeri menghemat pengeluaran anggaran karena harga jual lebih murah.

"Harga jauh lebih murah. Kedua ini target kita produsen juga. Hitungannya jauh lebih murah daripada beli. Yang paling utama. Pajak pembelian, pajak keuntungan, pajak lain-lain balik ke Indonesia yakni sebanyak 30% karena dibeli di dalam negeri," kata Kepala Bidang Perencanaan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Said Didu di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Rabu (2/4/2014).


Said menjelaskan pengembangan pesawat tempur karya putra-putri Indonesia terus berjalan meskipun terjadi pergantian pemerintahan atau presiden.

"Kemarin Korea sudah putuskan ini akan dilanjutkan. Meski terhenti 2 tahun. Itu sudah jalan. Kemarin dia pilih seri 4,5," sebutnya.

Pesawat untuk varian Indonesia yakni IFX akan diproduksi di markas PT Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung, Jawa Barat. Di tempat yang sama, Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI, Andi Alisyahbana menjelaskan jet tempur KFX mulai diproduksi secara massal pada tahun 2020.

Saat ini tenaga ahli PTDI sedang mempersiapkan rancangan esawat tempur generasi 4,5 tersebut.

"Diproduksi baru masuk tahun 2020. Persiapan banyak kita lakukan. Rancangan bangun dikembangkannya KFX/IFX. Kita rancang sesuai dengan kebutuhan TNI," kata Andi. (Detik)


TNI Akan Beli Radar Pertahanan Udara Baru

Kementerian Pertahanan berencana akan membeli sejumlah radar udara militer untuk menambah alat utama sistem persenjataan yang sudah dimiliki Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara saat ini. "Iya kami berencana beli 'ground control interceptor radar'," kata Kepala Badan Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda Rachmad Lubis, kepada wartawan di kantor Kementerian Pertahanan, jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu, 2 April 2014.

TNI Akan Beli Radar Pertahanan Udara Baru

Rachmad bersama beberapa pejabat yaitu Asisten Perencanaan Panglima TNI, Asisten Perencanaan Kepala Staf Angkatan Darat, Asisten Perencanaan Kepala Staf Angkatan Laut, Asisten Perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara, dan Asisten Perencanaan Kapolri membahas penyusunan rencana induk pembelian alat utama sistem persenjataan TNI dan Polri untuk tahun 2015-2029. Turut hadir, pada direktur utama perusahaan alat utama sisten persenjataan (alutsista) dalam negeri seperti PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, PT PAL, PT LEN, dan lainnya.


Sesuai permintaan Angkatan Udara, Kementerian Pertahanan akan membeli empat sampai enam buah radar udara. Namun, Rachmad masih merahasiakan betul detail radar tersebut seperti harga dan spesifikasi kemampuan. "Kapan belinya pun juga masih dalam proses panjang," kata Rachmad.

Rachmad berharap kehadiran radar-radar baru tersebut bisa meningkatkan pemantauan wilayah udara nasional. Menurut dia, saat ini kemampuan pemantauan radar udara sudah cukup baik. Sebab, TNI Angkatan Udara telah berkoordinasi dengan radar udara sipil dari beberapa bandar udara. "Tetapi akan lebih baik kalau radarnya ditambah," kata dia.

Saat disinggung soal produsen radar tersebut, Rachmad belum mau menjawab. Menurut dia, TNI AU sebagai pihak pemohon penambahan radar tak menunjuk produsen tertentu. "Yang penting, mereka sudah sampaikan kemampuan jangkauan radarnya," kata dia.

Namun, berdasar Undang-Undang nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Strategis, harus ada perusahaan dalam negeri yang dilibatkan dalam pembuatan alutsista yang hendak dibeli. Tapi,  untuk radar berkualitas tinggi, produsen industri pertahanan lokal belum bisa berbuat banyak. Walhasil. hampir bisa dipastikan radar baru untuk TNI AU bakal dipesan dari produsen luar negeri.

"Tapi, kami minta PT LEN (sebagai perwakilan BUMN) dan PT CMI (sebagai perwakilan swasta) harus berkoordinasi untuk proses belajar dan alih teknologi," kata Rachmad. (Tempo)


Pangkalan TNI AL (Lanal) Tarakan akan ditingkatkan menjadi Lantamal

Komandan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Danlantamal) VII Manado, Laksma TNI Raja Morni Harahap menyampaikan, sesuai keputusan Panglima Komando Armada RI Kawasan Timur (Pangkoarmatim), Pangkalan TNI AL (Lanal) Tarakan akan ditingkatkan menjadi Pangkalan Utama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Lantamal). Untuk itu, komandan baru di Lanal Tarakan Letkol Laut (P) Aries Cahyono harus mempersiapkannya.


"Nanti akan ada pergesaran pasukan dan logistik yang cukup besar, disertai mempersiapkan perangkat-perangkat yang dibutuhkan semua untuk menjadi Lantamal,” kata Raja usai acara sertijab Danlanal Tarakan, Kamis (3/4).

Lulusan AAL tahun 1983 itu juga menyampaikan, setelah Lanal Tarakan menjadi Lantamal, kebutuhan personel bertambah tiga kali lipat dari sekarang.


“Personelnya termasuk harus ada satu batalyon mariner sebagai pelengkap dari pangkalan itu sendiri," kata Raja.

Danlanal Tarakan, Aries Cahyono siap menjalankan tugas barunya. Menurut dia,  perkembangan ekonomi di Tarakan yang pesat menjadi tantangan bagi TNI AL untuk senantiasa memberikan dukungan. Menciptakan keamanan khususnya di wilayah laut juga harus dilakukan. Penyelundupan barang dan maraknya aksi perampokan di wilayah pertambakan menjadi "PR" yang akan diatasi Aries.

"Patroli harus ditingkatkan untuk mengikis tahap demi tahap tindakan di laut. Kalau dulu ada patroli bersama akan diaktifkan dan ditingkatkan lagi. Kalau perlu operasinya dilakukan secara bersama-sama," ujar Aries. (JPNN)


02 April, 2014

KRI Koarmatim Latihan SAR di Perairan Natuna

Sejumlah unsur kapal perang (KRI) yang tergabung dalam unsur tugas divisi Natuna Latma Multilateral Naval Exercise Komodo 2014, melaksanakan perjalanan lintas laut menuju Natuna, Kepulauan Riau, Senin (31/3/2014). Konvoi kapal perang terdiri dari tiga unsur kapal perang perang TNI AL dan lima kapal perang dari negara peserta sahabat.


Kadispen Armatim Letkol Laut (KH) Yayan Sugiana dalam siaran persnya, Kamis, (2/4/2014) mengatakan KRI TNI AL yang termasuk dalam divisi Natuna antara lain KRI Yos Sudarso-353, dan KRI Imam Bonjol-384. Sedang kapal perang dari negara asing yakni kapal perang Rusia Marshal Shaposhnikov (BPK 543), HMAS Lounceston dari Australia, kapal perang jenis rumah sakit Vietnam Khanh Hoa HQ- 561561dan kapal perang Jepang JDS Akebono-108.


Dalam pelayaran menuju kepulauan Natuna dilaksanakan serial latihan pencarian dan pertolongan korban di laut Search and Rescue (SAR) Exercise melibatkan satu helikopter TNI AL yang berada di KRI Yos Sudarso-353. Helikopter tersebut melaksanakan SAR terhadap korban di Laut.

Selanjutnya dilaksanakan Serial Latihan Cros Deck Landing atau pertukaran kegiatan. Serial latihan Cros Deck Landing melibatkan tiga helikopter yakni satu helikopter milik TNI AL yang berada di KRI Yos Sudarso-353, kemudian satu helikopter yang berada di kapal perang Rusia Marshal Shaaposshnikov (BPK 543), dan satu helikopter yang berada di kapal perang Jepang JDS Akebono-108.

Sedangkan Unsur Tugas Anambas membentuk formasi terdiri dari tiga unsur kapal perang TNI AL yaitu KRI Sultan Hasanuddin-366, KRI Teluk Celukan Bawang-532 dan KRI Teluk Hading-539. Sedangkan dari negara sahabat yaitu kapal perang Malaysia KD Mahawangsa- 1504 dan kapal perang Cina jenis LPD Mount Cangbai. (Jurnas)


Teknologi Simulator Helikopter TNI AD




Sejumlah petinggi TNI Angkatan Darat melihat simulator NBO 105 dan Bell 412 di markas Penerbangan Angkatan Darat, Semarang, Jawa Tengah (27/3).



Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Budiman melihat instalasi simulator NBO 105 dan Bell 412 di markas Penerbangan Angkatan Darat, Semarang, Jawa Tengah (27/3).


Sejumlah instalasi kaki yang bekerja secara hydrolik pada mesin simulator NBO 105 di markas Penerbangan Angkatan Darat, Semarang, Jawa Tengah (27/3).


Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Budiman duduk di kursi copilot simulator Bell 412 di markas Penerbangan Angkatan Darat, Semarang, Jawa Tengah (27/3). Calon penerbang harus memiliki 20 jam terbang dengan simulator ini sebelum transisi copilot helikopter.


Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Budiman menuruni tangga simulator Bell 412 di markas Penerbangan Angkatan Darat, Semarang, Jawa Tengah (27/3).


Sumber : Tempo |  Budi Purwanto


Natuna Dan Pelajaran Berharga Konflik LCS

Natuna saat ini banyak disebut dalam pemberitaan yang berhubungan dengan kegiatan militer. Selain menjadi tuan rumah Latma Komodo 2014 juga mengenai berbagai rencana pembangunan kekuatan militer di pulau tersebut. Pulau terletak wilayah luar Indonesia dan berhadapan langsung dengan LCS (Laut China Selatan) yang sedang dilanda konflik klaim yang tumpang tindih dari berbagai negara, antara lain Malaysia, Pilipina dan China. Bahkan dari peta 9 dash line China, ada kemungkinan wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia di utara Natuna ikut termasuk wilayah yang diklaim oleh China.

Natuna Dan Pelajaran Berharga Konflik LCS

Walau bisa dibilang termasuk lamban, namun keputusan pemerintah dan TNI untuk memperkuat kehadiran militer di Natuna adalah keputusan yang sangat tepat yang patut diapresiasi. Kita harus melihat contoh negara-negara lain yang saat ini sedang bersengketa wilayah dengan China untuk dapat menilai betapa tingginya nilai Natuna dalam konteks kedaulatan wilayah negara.


Kebanyakan wilayah laut di daerah sengketa ini adalah coral dan karang, sebagian malah terendam di bawah permukaan air laut. Tapi hal itu tidak menghentikan upaya China untuk menancapkan klaim mereka. China menempatkan tanda batas wilayah mereka di berbagai tempat yang memungkinkan, bahkan memasang dudukan beton dan membangun pangkalan di atas koral. China menyebutnya pangkalan bagi nelayan mereka, tapi beberapa pihak yakin itu adalah bangunan militer atau setidaknya pemerintah China menempatkan pasukan marinir untuk menjaganya. Bahkan di James Shoal sekitar 70 km Serawak, China menanamkan plat logam pada koral 20 meter di bawah permukaan air laut sebagai penanda batas wilayah mereka.

Memang tidak terdengar reaksi frontal dari Malaysia, namun tanpa berkonfrontasi langsung dengan China, Malaysia berencana membangun kesatuan Marinir dengan batuan dari USMC (United States Marine Corps). Menteri Pertahanan Malaysia Hishammuddin Tun Hussein mengatakan tahun lalu, bahwa Malaysia akan membangun kesatuan Marinir yang akan bertempat di Bintulu, tidak jauh dari Wilayah yang disengketakan.

Pilipina adalah salah satu claimant LCS yang paling lantang menentang klaim China. Hal ini cukup wajar, mengingat klaim China yang didukung ancaman kekuatan militer ini bisa memberikan kerugian ekonomi dan kedaulatan yang luar biasa bagi Pilipina. Selain berbagai potensi migas, perikanan juga adalah salah satu sektor ekonomi andalan Pilipina. Dan saat ini, nelayan “asing” dilarang masuk ke wilayah LCS yang diklaim China sebagai wilayahnya. Membuat nelayan Pilipina kehilangan mata pencaharian sementara nelayan China bebas melaut sampai jauh ke Timur dan Selatan LCS. seakan belum cukup, China juga sudah mulai merencanakan penerapan ADIZ di wilayah udara LCS tersebut.

Alasan mengapa China begitu leluasa mencaplok wilayah Pilipina adalah karena superioritas kekuatan militer mereka. Saat ini Pilipina melakukan berbagai cara ‘melawan’ agresifitas China, mulai dari upaya memasang tanda batas mereka sendiri, membawa sengketa wilayah ke PBB, melakukan modernisasi militer, membangun pangkalan Marinir baru yang berdekatan dengan wilayah sengketa, mencari dukungan AS dan bahkan potensi mengadakan aliansi militer dengan Vietnam. Tapi apapun dilakukan, upaya itu sudah terlambat, karena secara de facto China lah yang saat ini mengontrol wilayah sengketa.


Upaya balasan lemah pihak Pilipina. Image southseaconversations

Kelihatannya Malaysia, Pilipina dan juga Indonesia melupakan sejarah pahit Vietnam yang kehilangan kontrol atas Kepulauan Paracel pada China sekitar 40 tahun yang lalu. Malaysia terlihat canggung dan terkaget-kaget dengan bentuk ancaman yang mereka hadapi, Pilipina mengabaikan pembangunan militer dan terlalu mengandalkan diri sebagai sekutu AS di kawasan dan Indonesia lama terpuruk ekonomi dan sibuk dengan ancaman dalam negeri, sebelum kemudian baru-baru ini saja ketika ancaman dari dalam mereda, TNI mulai memperhatikan bentuk ancaman keamanan dari luar.

Dari negara-negara ini tampaknya Vietnam paling serius membangun kemampuan militernya. Diantara claimants, kemampuan militer mereka yang saat ini paling bisa membuat China berpikir ulang dan berhitung kembali sebelum bertindak semena-mena. Dan hal ini tidak lepas dari pengalaman pahit Vietnam dalam berhadapan dengan China dan pengalaman berharga dari perang Kepulauan Paracel.


Kepulauan Paracel

Pelajaran berharga dari sejarah Vietnam kehilangan kepulauan Paracel. Pada tanggal 16 Januari 1974, Angkatan Laut Vietnam (RVN) menjumpai kehadiran Angkatan Laut China (PLAN) di Kepulauan Paracel Barat yang saat itu dibawah kontrol Vietnam Selatan. Selama dua hari berikutnya, angkatan laut adu otot satu sama lain di sekitar kepulauan. Pertempuran kemudian meletus dan semakin meningkat dengan datangnya overwhelming bala bantuan pasukan Cina ke zona pertempuran, termasuk dukungan udara dari Pulau Hainan dan kapal patroli rudal Hainan-class.

Pertempuran Kepulauan Paracel tercatat dalam sejarah sejarah sebagai pertempuran pertama dalam upaya untuk kontrol atas kepulauan di Laut Cina Selatan. Pertempuran Kepulauan Paracel pada tahun 1974 memberikan pelajaran penting, tidak saja bagi Vietnam, tapi bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan di LCS, termasuk juga Indonesia.

Jalur diplomasi adalah upaya utama,  tapi bukan satu-satunya

Tidak ada perjanjian internasional dan regional yang mampu memberikan perlindungan sempurna terhadap tindakan sepihak, termasuk ancaman atau penggunaan kekerasan. Artinya, walau diplomasi didahulukan dan hubungan sedang baik namun kekuatan militer tetap harus diperkuat dan disiagakan. Seperti kutipan terkenal Carl von Clausewitz: “war is the continuation of politics by other means”, perang adalah kelanjutan/bentuk lain dari politik.

Bantuan dari luar tidak selalu tersedia, ataupun (jika ada) akan bersedia membantu.

Tidak ada kekuatan regional telah mengambil sikap tegas dan memihak  di sengketa LCS,  tapi lebih ke fokus hanya pada kebebasan navigasi. Artinya, meskipun AS atau Jepang memiliki alasan yang sah untuk melakukan intervensi jika LCS terancam konflik bersenjata,  namun tindakan nyata tidak bisa dipastikan. Bahkan jika misalnya Komando Pasifik AS suatu saat  mendeteksi pergerakan mencurigakan militer China di LCS, tapi mereka mungkin tidak dapat bereaksi tepat pada waktunya.

Bagi negara-negara dengan kerjasama pertahanan atau aliansi militer sekalipun bantuan mungkin datang terlambat. Opsi terbaik adalah mengandalkan kekuatan sendiri. Dan bagi Indonesia yang merupakan negara netral tanpa memiliki aliansi militer, kemandirian pertahanan ini merupakan kebutuhan mutlak.

Kebutuhan akan (setidaknya) kemampuan terbatas kontrol wilayah perairan.

Ancaman terbesar negara-negara Asia Tenggara yang berhadapan dengan LCS adalah China. Dan walau ASEAN bersatu dalam aliansi militer, namun secara kuantitatif tidak bisa menandingi kekuatan militer China. Karena itu perlombaan senjata melawan China bukanlah opsi yang bisa dilakukan negara2 di kawasan ini, bahkan termasuk juga Indonesia yang dari ukuran jumlah penduduk dan ekonomi merupakan yang terbesar di antara negara ASEAN. Namun tidak berarti tidak ada yang bisa dilakukan oleh negara-negara ini dalam menghadapi ancaman kekuatan militer yang superior.

Pertempuran Paracel memberikan pelajaran akan kebutuhan tidak hanya mencegah musuh dari memblokade akses laut, tapi juga kebutuhan untuk mengamankan akses militer pada kepulauan terdepan yang terbuka dan rentan. Kemampuan  peringatan dini dan air/sea denial permanen pada lokasi-lokasi wilayah terluar hingga wilayah terluar ZEE diperlukan untuk tetap menjaga status quo.

Kesimpulan.

Berbagai negara dalam adu klaim di LCS berusaha dengan berbagai cara bahkan membangun pulau buatan atau sekedar menancapkan bendera di atas koral, jangan sampai kita kehilangan lagi kepulauan luar yang sangat berharga dan merupakan batas untuk wilayah kedaulatan.

Control China terhadap LCS diperkirakan akan meningkatkan keuntungan strategis dan pada akhirnya daya tawar politik mereka, sementara Indonesia dari dulu sudah memiliki potensi besar ini namun belum memanfaatkannya.  Ketika China sudah mulai dengan wacana  menerapkan ADIZ di LCS, Indonesia justru masih numpang pada Singapura karena mereka mereka yang mengatur Air Traffic Services (ATS) lantaran Indonesia dinilai belum mampu untuk mengatur penerbangan internasional yang sangat padat di wilayah udara sekitar.


Penguasaan Kepulauan Riau hingga Natuna juga berdampak besar dalam strategi luas jika Malaysia yang ada dalam scenario. Secara harfiah Kepulauan, wilayah perairan dan udara Indonesia di Kepulauan Riau hingga Natuna memisahkan Federasi Malaysia antara Semenanjung dan Malaysia Timur.

Batas Wilayah Laut NKRI
 


Lokasi Kepulauan Natuna sangat strategis untuk berbagai scenario di masa depan.  Natuna memang bukan satu-satunya wilayah depan Indonesia, tapi dengan dijadikannya Kepulauan Natuna sebagai wajah baru strategi kemanan Indonesia, mudah-mudahan hotspots baik perbatasan darat atau laut lainnya juga segera mendapat perhatian serius dari pemerintah dan TNI. (NYD | JKGR)




Keterangan:

ADIZ (Air Defense Identification Zone) : Zona Identifikasi  udara, Luas wilayah udara atas tanah atau air, memperluas ke atas dari permukaan, di mana identifikasi siap, lokasi, dan kontrol pesawat yang diperlukan dalam kepentingan keamanan nasional.
Claimant : Peserta/pihak yang punya klaim
Air/Sea Denial : Kemampuan mencegah ancaman laut dan udara
Status Quo : ”kondisi yang ada” atau “keadaan hal itu”
Hotspot : (politik) Lokasi dimana berpotensi terjadi kerusuhan/konflik
De Facto : ”pada kenyataannya” atau “pada praktiknya” walau bertentangan dengan aturan/hukum/kesepakatan
ZEE (Zona Ekonmi Eksklusif) : zona wilayah seluas 200 mil laut dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya


01 April, 2014

Industri Strategis Dalam Negeri Lengkapi Kebutuhan Alutsista Indonesia




Alutsista kebanggaan buatan dalam negeri

Percepatan Minimum Essential Force (MEF) yang dibangun Kemenhan tidak hanya fokus impor dari luar negeri, tapi juga dengan produsen-produsen dalam negeri. Keseriusan Kemenhan bisa dilihat dnegan penandatangan nota kesepahaman (MoU) dengan sejumlah industri alutsista dalam negeri yang dilakukan pada Maret 2012 silam.

“Jumlah kontraknya mencapai Rp 1,3 triliun,” ujar Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro saat itu.

Perusahaan yang dilakukan MoU adalah PT Dirgantara Indonesia, PT Palindo Marine, PT Pindad, PT Infra RCS Indonesia dan PT Sari Bahari. Selama ini kita telah mengetahui pengembangan BUMN Industri strategis seperti PT DI melalui kerjasama pembuatan alat militer bersama pihak produsen luar negeri seperti pesawat CN-295, CN-235, Helikopter Bell 412, Cougar EC-725, Fennec AS-555, dll.


Lalu ada PT Pindad dengan berbagai macam senjata ringan hingga ke kendaraan lapis baja roda biasa seperti Anoa, Komodo, Rantis 4×4 maupun roda rantai seperti rencana membuat MBT dan tank kelas ringan/sedang yang mampu menjadi andalan dalam kondisi geografis kita. Dalam MoU itu juga ada beberapa alutsista strategis seperti pembuatan Rocket FFAR, Radar/ECDIS, serta pembuatan peluru kendali.

Pembuatan FFAR atau Fin Folding Aerial Rocket ini buatan PT DI hasil Transfer of Technology (ToT) dari produsen asal Eropa, Lesca dengan bersandar lisensi dari Belgia. Ada dua tipe yang dikembangan PT DI yaitu RD 701 berbasis FFAR MK 4 dan RD 7010 berbasis MK 40. Saat ini untuk pengembangan sudah hampir 100%. Sedangkan hulu ledaknya sudah 100 persen buatan lokal dibantu Lapan dengan sistem Doublebase atau basis ganda, sehingga FFAR buatan dalam negeri bisa setara dengan produk-produk luar.


Rocket FFAR buatan dalam negeri – Hulu ledak 100% komponen lokal

Spesifikasi

Diameter : 70 mm (2.75 inchi)
Panjang : 120 cm
Berat : 8.4 Kg
Jarak efektif : 3,400 m
Berat Warhead : 2.7 Kg


Untuk radar/ECDIS (Electronic Chart Display and Information System) atau sistem informasi navigasi laut sesuai dengan Organisasi Maritim Internasional (IMO) juga sudah dibuat oleh PT Infra RCS Indonesia. Untuk ECDIS ini murni hasil anggaran pengembangan dari PT Infra. Selain itu PT Infra juga telah mengembangkan Electronic Support Measures (ESM) dan rencana pengembangan bersama WECDIS dengan TNI AL.


INFRA
Selain Infra, ada juga dari BUMNIS yaitu PT. LEN Industri seperti Radar Processing dan Display Console untuk teknologi Modern radar dan Legacy radar. Selain Radar/ECDIS PT LEN juga mengembangkan atau memproduksi Combat Management System (CMS), Transoder TPO TLM-01 (untuk kapal selam), Len Cryptosys (Modem Enkripsi asli buatan dalam negeri), peralatan komunikasi radio portable (Manpack)/Base Station/Vehicle, dll.
Surveillance & Reconnaissance Device
peralatan komunikasi radio portable (Manpack), Base Station, Vehicle

Sedangkan Peluru kendali, berdasarkan Rencana Strategis 2010-2014 Konsorsium Roket untuk TNI AD memerlukan RX-100 yang Alhamdulillah telah behasil yaitu R-Han 122 (a) tinggal uji tabel tembak, TNI AL RX-122 sama yaitu R-Han 122b dengan jarak dibawah 40 km-tinggal uji Tabel dan RX-320 pengembangan bersama litbang TNI AL dengan jarak 70 Km atau lebih.

sotong 42
Sotong. Image: ryanmesin.wp

Ranjau Laut

Smart Bomb – Dislitbang

RX-320 – sejenis Exocet dengan jarak 180 km

Untuk RX-320 ini direncanakan untuk mengganti Exocet dan telah dilengkapi Infrared Seeker Head. Dan terakhir untuk TNI AU ada RX-70 dengan jangkauan 7.9 km dan ini juga sudah dikembangkan untuk dicantel di pesawat tempur kita.

Diharapkan Alutsista ringan maupun kelas berat ini bisa mengisi tiga matra TNI agar terciptanya MEF pertama bisa diwujudkan. Untuk MEF kedua ada rencana pengembangan dalam negeri juga seperti Tank Medium, APC Amphibious, RX-320 sejenis Exocet dengan jarak 180 km, PSU kelas sedang, Kapal Selam bersama DSME, Kapal Perang PKR/Frigate bersama DSNS Belanda, dll.

 

Cintailah produk-produk dalam negeri…  (Jalo | JKGR)


Militer Indonesia Sangat Membutuhkan Tank Leopard

Kementerian Pertahanan menyatakan tank Leopard asal Jerman sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro, menyatakan Leopard sangat penting untuk memperkuat pertahanan darat Indonesia.

Militer Indonesia Sangat Membutuhkan Tank Leopard

"Dari aspek taktis, MBT Leopard telah memenuhi Ketentuan Standar Umum Materiil TNI AD dihadapkan dengan fungsi satuan kavaleri sebagai unsur penggempur," kata Purnomo dalam siaran tertulisnya, Senin (31/3).

Menurutnya, tank Leopard adalah tank yang terunggul di kelasnya. Keunggulan MBT Leopard adalah pada kemampuan daya gerak, tembak, daya kejut, dan daya hancurnya. "MBT Leopard dapat digunakan di daerah perkotaan maupun di perbukitan atau di daerah setengah tertutup," katanya.


Meskipun beratnya mencapai 60 ton, Purnomo meyakinkan tekanan gandar yang ditumpukan ke permukaan hanya sekitar 8 kg/cm2. "Hal ini dimungkinkan karena permukaan tumpu relatif luas," ujarnya.

Pada tahun 2012, pemerintah dan DPR telah sepakat untuk membeli main battle tank (MBT) Leopard produksi Jerman. Proses pembelian Leopard dinilai telah melalui proses yang cukup panjang dengan pendekatan komprehensif.

Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Andika Perkasa, mengatakan sudah sangat lama Indonesia tak memiliki tank dengan spesifikasi canggih. Padahal, katanya, daratan Indonesia amat luas, apalagi untuk menjaga seluruh perbatasan.

TNI AD berencana menempatkan sebanyak 103 Leopard yang telah dibeli di sejumlah satuan kavaleri. Penempatan ini sebagai upaya mempermudah untuk dikerahkan ketika terjadi ketegangan di wilayah atau perbatasan terdekat.

Di Batalyon Kavaleri 1 Kostrad, Cijantung, TNI AD akan menempatkan 41 Leopard yang terdiri dari 13 Leopard tipe 2A4 dan 28 Leopard 2 tipe RI. Di Pasuruan, Jawa Timur, tepatnya di Batalyon Kavalaeri 8 Kostrad, TNI AD juga menempatkan 41 Leopard. Di Pusat Pendidikan Kavaleri di Padalarang, Jawa Barat, akan ditempatkan 4 Leopard. Dan di Sentul, Jawa Barat, ditempatkan 13 Leopard. Sementara itum, di Kompi Kavaleri Pusat Latihan Pertempuran, Baturaja, ditempatkan 4 Leopard.

"Dari kebutuhan 103 garasi Tank Leopard, 82 di antaranya atau sebanyak 79,6 persen sudah selesai dibangun. Sisanya akan diselesaikan tahun 2014," kata Andika.

Andika mengatakan ada 140 negara pengguna MBT di seluruh dunia, dengan 65 jenis yang berbeda. Leopard sendiri digunakan di 20 negara atau 14,3 persen, antara lain di Australia, Austria, Brasil, Kanada, Cile, Denmark, Finlandia, Jerman, Yunani, Indonesia, Itali, Lebanon, Norwegia, Polandia, Portugal, Singapura, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Turki.

"Dari 20 negara tersebut, hanya tiga negara atau 15 persen yang memiliki padang pasir, sebanyak 85 persen tidak memiliki padang pasir," lanjutnya.

Dia menjelaskan berat MBT Leopard dihadapkan jalan dan jembatan di Indonesia tidak ada masalah. Sekalipun beratnya sekitar 60 ton, namun tekanan jejaknya pada tanah hanya 0,8 kilogram per sentimeter atau 8,9 ton per meter persegi. Tekanan jejak itu, kata dia, relatif sama dengan Tank AMX-13 (berat 14,5 ton) dan Scorpion (8 ton).

Dengan tekanan jejak 8,9 ton per meter persegi, MBT Leopard sangat memenuhi syarat penggunaan jalan kelas satu dan dua di Indonesia. Pasalnya, sesuai peraturan muatan sumbu terberat di jalan kelas ini bisa lebih delapan ton per meter persegi.

"Beban terbagi rata Tank Leopard (q=2,38 kNm2) masih lebih kecil dari jembatan kelas A dan B (q=4.46 kNm2) di Indonesia dengan lebar enam meter, panjang 40 meter)," kata mantan Danrem 023/Kawal Samudera Sibolga itu.

Sebelumnya, mantan Presiden BJ Habibie mengkritik pembelian MBT Leopard 2A6 dari Jerman. Menurut Habibie, Leopard tidak cocok untuk Indonesia yang dikenal sebagai negeri maritim. MBT Leopard, sebut Habibie, ideal digunakan di medan gurun pasir. (KJ)


Indonesia Belum Dimodernisasi Peralatan Radar Militer Pantai dan Udara

Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq mengatakan Indonesia belum memodernisasi peralatan radar militer pantai dan udara. Sebab menurutnya Indonesia masih berfokus pada pengadaan alutsista utama (senjata dan kendaraan tempur).

Indonesia Belum Dimodernisasi Peralatan Radar Militer Pantai dan Udara

“Untuk Angkatan Udara alutsista pendukungnya masih radar lama dan belum semua pangkalan udara militer dilengkapi radar,” kata Mahfudz Siddiq ketika dihubungi Republika, Senin (31/3).

Mahfudz mengatakan sebagian besar radar militer Indonesia sudah tidak berfungsi optimal. Ini karena radar yang digunakan sudah tidak moderen. Menurut Mahfudz anggaran alutsista sebesar Rp 120 triliun selama 2009 sampai 2014 tidak  memadai.


“Memang diakui dalam rencana strategi (renstra) 2014 belum bisa biayai radar militer,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini mengusulkan agar ada peningkatan anggaran alutsista periode 2014 – 2019. Mahfudz mengatakan modernisasi radar militer udara dan pantai sudah tidak bisa ditunda. Pasalnya lalulintas udara dan perairan Indonesia sudah semakin padat.

“Saya usulkan belanja alutsista periode berikut Rp 200 triliun,” katanya.

Mahfudz menolak belanja alutsista TNI tidak tepat guna. Dia menjelaskan fungsi alutsista tidak optimal karena belanja alutsista tidak dilakukan dalam paket menyeluruh. Mahfudz mencontohkan, saat membeli pesawat Sukhoi, Indonesia tidak sekaligus membeli persenjataan Sukhoi. “Pembeliannya bertahap karena keterbatasan anggaran,” ujarnya. (ROL)


AMX-13 Retrofit Pindad itu Mulai Berjalan

Setelah ditinjau langsung oleh Wakil Menteri Pertahanan, Pindad tak membuang waktu. Perusaan senjata asal Bandung ini segera menggelar uji coba tank AMX-13 hasil Retrofit mereka. Mulai hari ini, 1 april 2014, Tank ringan itu akan diujikan berjalan ke kawasan Sukabumi dan Cianjur untuk melihat olah gerak hasil retrofit. Selain olah gerak, nantinya juga akan dilakukan uji tembak dalam waktu dekat.



Proyek retrofit AMX-13 ini mulai berjalan sejak akhir  2011 lalu. Seharusnya di Tahun 2013 ini Pindad telah melakukan produksi Retrofit AMX. Namun dalam perjalanannya, sejuta rintangan menghambat. Dan akhirnya, pada awal 2014, sebuah prototype bisa diselesaikan.


AMX-13 hasil retofit ini memiliki tampang yang sedikit berbeda dengan slinya. Untuk hull misalnya, terpaksa ditambah panjang sekitar 20cm untuk mengakomodir mesin anyar. Mesinnya sendiri memakai produk Navistar dari Amerika Serikat dengan daya sebesar 400HP. 


Sementara pada bagian persenjataan, terpasang meriam 105mm. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan tempur, akan dipasang pula Fire Control System yang kabarnya bikinan Belgia. Selain itu turut dipasang pula Laser Range Finder serta kamera Thermal.





Sumber : ARC


31 Maret, 2014

TNI Perkuat Pulau Terluar Antisipasi Kemungkinan Konflik Laut China Selatan

Panglima TNI Jenderal Moeldoko berencana memperkuat kekuatan di Pulau Natuna, Kepulauan Riau untuk mengantisipasi hal-hal negatif akibat konflik Laut China Selatan. Moeldoko pun mengumpulkan seluruh Kepala Staf Angkatan untuk mencari solusi penguatan pulau strategis Indonesia yang berbatasan dengan Laut China Selatan tersebut.

TNI Perkuat Pulau Terluar Antisipasi Kemungkinan Konflik Laut China Selatan
Prajurit TNI tampak memperhatikan dengan seksama sambutan yang disampaikan oleh Presiden SBY (Rumgapres/Abror Rizki)

"Bila terjadi sesuatu di sana akan merembes ke Indonesia," kata Moeldoko pada 3 Maret 2014 lalu.

Terkait rencana Jenderal Moeldoko, TNI Angkatan Udara akan melakukan perbaikan Lanud Ranai Pulau Natuna dan menempatkan skadron move atau bisa berpindah home base. Agar Lanud Ranai bisa menjadi hardened shelter pesawat tempur seperti Sukhoi, F-16, Golden Eagle dan jenis lainnya.


"Skadron move untuk hardened shelter sewaktu-waktu bisa dilaksanakan tergantung kebutuhan operasi," tulis Kadis Penerangan TNI AU Marsma Hadi Tjahjanto melalui pesan singkat kepada Liputan6.com di Jakarta Minggu (30/3/2014).

Hadi menambahkan, untuk wewenang penggunaan kekuatan sepenuhnya di bawah Panglima TNI. Kemudian, kewenangan ini akan ditindakanjuti ke Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) atau Komando Operasi Angkatan Udara (Koopsau).

"Bisa Kohanudnas bisa Koopsau, tergantung jenis operasi. Karena doktrin kita masih seperti itu," tutup jenderal berkumis ini.

Sebelumnya, untuk mengantisipasi gangguan kedaulatan, TNI Angkatan Darat berencana menambah 1 batalyon dan menempatkan Helikopter Apache AH-64 di Pulau Natuna. Kehadiran helikopter buatan Amerika ini diharapkan bisa menjadi deterrent effect.

"Kenapa Natuna? Karena lebih untuk deterrent effect atau efek penangkalan. Jadi seperti psywar atau perang psikologis," ujar Kadispen TNI AD, Brigjen Andika Perkasa .

Selain itu, Mabes TNI juga akan meningkatkan status Pangkalan Angkatan Laut menjadi Pangkalan Utama Angkatan Laut. Alat utama sistem senjata (alutsista) canggih pun akan mengisi pulau terluar Indonesia tersebut.

Pulau Natuna dengan luas daratan 2.631 kilometer persegi, di utara berbatasan dengan perairan Vietnam, dan wilayah timurnya berbatasan dengan Malaysia Timur, Kalimantan Barat dan Brunei Darussalam. Sementara itu, di barat Pulau Natuna dengan luas lautan 262.156 kilometer persegi berbatasan dengan Semenanjung Malaysia Barat.

Sementara, meski mereda, permasalahan Laut China Selatan punya potensi 'kambuh'. China, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan mengklaim wilayah laut yang diyakini memiliki cadangan minyak dan gas yang sangat banyak itu.

China mengklaim sekitar 90 persen dari 3,5 juta kilometer persegi Laut China Selatan, yang bersinggungan dengan Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Taiwan. China juga berencana menetapkan Zona Indentifikasi Pertahahan Udara (ADIZ) di Laut China Selatan. (Liputan6)


TNI AD Bantah Kritikan Habibie Soal Pembelian Tank Leopard

TNI Angkatan Darat membantah kritikan mantan Presiden BJ Habibie terkait dengan pembelian tank Leopard dari Jerman oleh pemerintah Indonesia. Menurut TNI AD, tidak benar tank Leopard yang termasuk dalam tank tempur utama (main battle tank atau MBT) adalah tank yang dikhususkan untuk negara yang memiliki padang pasir.

TNI AD Bantah Kritikan Habibie Soal Pembelian Tank Leopard

"Dari 20 negara pengguna tank Leopard, hanya 3 negara (15 %) yang memiliki padang pasir. Sedangkan 85% dari negara-negara tersebut tidak memiliki padang pasir," ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen TNI Andika Perkasa dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Minggu (30/3/2014) malam.

Menurut Andika, saat ini ada 140 negara pengguna MBT diseluruh dunia, dengan 65 jenis MBT yang berbeda. Khusus untuk tank Leopard digunakan oleh 20 negara besar. Mulai dari Australia, Austria, Brasil, Kanada, Cile, Denmark, Finlandia, Jerman, Yunani, Indonesia, Italia, Lebanon, Norwegia, Polandia, Portugal, Singapura, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Turki.


TNI AD juga membantah kritikan Habibie yang mengatakan berat tank Leopard yang mencapai 60 ton tak mampu melintasi medan-medan di Indonesia.

Menurut TNI AD, Sekalipun berat Leopard lebih kurang 60 ton, tekanan jejak pada tanah hanya 0.8 kg/cm2 atau 8.9 ton/m2. Tekanan jejak ini relatif sama dengan tank AMX-13 yang memiliki berat 14.5 ton dan Scorpion dengan berat 8 ton.

"Dengan tekanan jejak 8.9 ton/m2, tank Leopard sangat memenuhi syarat untuk digunakan di jalan kelas 1 dan 2 di Indonesia. Beban terbagi rata tank Leopard juga masih lebih kecil dari jembatan kelas A dan B di Indonesia dengan lebar 6 meter dan panjang 40 meter," terang Andika.

Selain itu, tank Leopard juga mampu bermanuver off road di permukaan berlumpur dan di sungai dengan kedalaman kurang dari 4 meter.

Dari kebutuhan 103 garasi tank Leopard, 82 di antaranya (79.6 %) sudah selesai dibangun di berbagai lokasi penempatan. Sisanya akan diselesaikan tahun 2014 ini.

Penempatan 103 unit tank Leopard TNI AD adalah:

- Batalyon Kavaleri 1 Kostrad, Cijantung (total 41)
* 13 Leopard 2A4.
* 28 Leopard 2 RI.

- Batalyon Kavaleri 8 Kostrad, Pasuruan (total 41)
* 28 Leopard 2A4.
* 13 Leopard 2 RI.

- Pusat Pendidikan Kavaleri, Padalarang (total 4)
* 3 Leopard 2 RI.
* 1 Leopard 2A4.

- Kompi Kavaleri CAMB, Sentul
* 13 Leopard 2 RI. 

- Kompi Kavaleri Pusat Latihan Pertempuran, Baturaja (total 4)

* 4 Leopard 2 RI.



Sumber : Liputan6


TNI AU Tunggu Pesawat Tempur Generasi 4,5

Peremajaan dan modernisasi arsenal perang TNI AU terus dilakukan, di antaranya pesawat tempur pengganti F-5E/F Tiger II yang sekarang tergabung di Skuadron Udara 14, yang berasal dari generasi 4,5 atau 4,5++.

TNI AU Tunggu Pesawat Tempur Generasi 4,5
Sukhoi Su-35

Di antara kontestan yang telah masuk ke dalam daftar pasti pengajuan adalah Sukhoi Su-35 Flanker E (Rusia), JAS-39 Gripen (Swedia), Dassault F1 Rafale (Prancis), dan Boeing-McDonnel Douglas F/A-18E/F Super Hornet (Amerika Serikat). Pengadaan arsenal baru TNI AU itu sesuai Perencanaan Strategis Pertahanan Indonesia Tahap III.

"Kami masih menunggu evaluasi dari Kementerian Pertahanan dan Markas Besar TNI. Jika ditanya, kami menginginkan generasi 4,5," kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama TNI Hadi Tjahjanto, di Yogyakarta, Minggu.


F-5E/F Tiger II didatangkan langsung dari pabriknya di Amerika Serikat pada awal dasawarsa '80-an, dengan skema pembelian foreign military sales.

TNI AU saat itu adalah pengguna perdana Tiger II di ASEAN dengan kekuatan satu skuadron udara penuh (16 unit).

Angkatan Udara Kerajaan Thailand menjadi negara kedua, yang malah membeli lebih banyak lagi Tiger II itu, dan mengembangkan kemampuan pesawat tempur kelas interseptor itu.

TNI AU sebetulnya bukan tidak mengembangkan kemampuan dan usia pakai F-5EF Tiger II itu, karena sempat ada Program MACAN yang diluncurkan pada akhir dasawarsa '90-an.

Selain Thailand, Angkatan Udara Iran secara sempurna bisa mengembangkan Tiger II mereka.

Dassault F1 Rafale merupakan pesawat terbang tempur bermesin ganda dengan rancangan unik di dunia, berkelas multi peran --Prancis menyebut ini sebagai omnirole capability-- termasuk reconnaissance dan surveillance hingga kemampuan meluncurkan bom nuklir.

Dikembangkan dalam hanya tiga varian (B,C, dan M), komonalitas dan kompatibilitas serta kemudahan perawatan plus pengoperasian menjadi nilai tambah pesawat tempur bersayap delta dengan sayap kanard di depan bawah kokpit.

Sistem avionika dan penginderaan serta persenjataannya memakai teknologi kelas paling canggih di kelasnya, di antaranya integrasi sistem dengan pusat pengendali dan sesama penempur di udara.

Adapun JAS-39 Gripen bersayap delta buatan SAAB Swedia, diketahui memiliki kemampuan tempur multiguna-interseptor berkecepatan di atas 2 Mach, dengan teknologi terkini dan menjadi salah satu arsenal andalan NATO.

JAS-39 Gripen merupakan penyempurnaan JAS-35 Vigen dan JAS-37-Drakken, dan bisa menjadi pamungkas dalam superioritas udara dari Swedia yang dikenal dengan produk-produk berkualitas tinggi itu.

Angkatan Udara Kerajaan Thailand menjadi pengguna perdana JAS-39 Gripen ini di ASEAN, sementara di dunia telah dipergunakan Angkatan Udara Kerajaan Swedia, Angkatan Udara Afrika Selatan, dan Angkatan Udara Hungaria.

Sementara Boeing F/A-18E/F Super Hornet adalah pesawat tempur bermesin ganda yang didedikasikan untuk bertempur secara multiperan.

Dia juga dipergunakan di Angkatan Udara Singapura, yang diimbuhi teknologi lebih canggih ketimbang versi ekspor lain dari pabrikannya.

Sukhoi Su-35 Flanker E buatan  Komsomolsk-on-Amur Aircraft Production Association adalah pengembangan dari Su-27 Flanker yang ditingkatkan manuverabilitasnya dari kokpit berkursi tunggalnya dan bermesin jauh lebih kuat dari pendahulunya.

Pertama kali mengudara pada 1988, Angkatan Udara Rusia memakai Su-35 Flanker E (semula dikenal sebagai Su-27M) tim aerobatik mereka, Vityyasii Ruskiyii (Ksatria Rusia), menggantikan MiG-29.

TNI AU sudah sangat akrab dengan sistem Su-27 Flanker ini karena telah memiliki satu skuadron udara berisikan mereka, yaitu Skuadron Udara 11, yang berpangkalan di Pangkalan Udara Utama Hasanuddin, Makasssar.  (Antara)